Senin, 29 Oktober 2012

FILSAFAT KOMUNIKASI




KAJIAN FILSAFAT KOMUNIKASI


A.     Pengertian  Filsafat Komunikasi
Menurut Onong Ucahana Efendy,  Suatu disiplin ilmu yang menelaah pemahaman (verstehen) secara fundamental, metodologis, sistematis, analitis,kritis, dan holistik tentang teori dan proses komunikasi yang meliputi segala dimensinya.
Menurut Richard Lanigan, Filsafat komunikasi adalah upaya menjawab pertanyaan:Apa yang aku ketahui   Bagaimana aku mengetahuinya ,   Apakah aku yakin,    Apakah aku benar.
B.     Kajian Filsafat Komunikasi
Para ahli sepakat bahwa landasan ilmu komunikasi yang pertama adalah filsafat. Filsafat melandasi ilmu komunikasi dari domain ethos, pathos, dan logos dari teori Aristoteles dan Plato. Ethos merupakan komponenfilsafat yang mengajarkan ilmuwan tentang pentingnya rambu-rambu normative dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi kunci utama bagi hubungan antara ilmu dan masyarakat. Pathos merupakan komponen filsafat yang menyangkut aspek emosi atau rasa yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang senantiasa mencintai keindahan, penghargaan, yang dengan ini manusia berpeluang untuk melakukan improvisasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Logos merupakan komponen filsafat yang membimbing para ilmuwan untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan pada pemikiran yang bersifat nalar dan rasional, yang dicirikan oleh argument-argumen yang logis.
Komponen yang lain dari filsafat adalah komponen piker, yang terdiri dari etika, logika, dan estetika, Komponen ini bersinegri dengan aspek kajian ontologi (keapaan), epistemologi (kebagaimanaan), dan aksiologi (kegunaan atau kemanfaatan).
Pada dasarnya filsafat komunikasi memberikan pengetahuan tentang kedudukan Ilmu Komunikasi dari perspektif epistemology:
1.        Ontologis:
Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
Ontologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Apakah ilmu komunikasi? Apakah yang ditelaah oleh ilmu komunikasi? Apakah objek kajiannya? Bagaimanakah hakikat komunikasi yang menjadi objek kajiannya?
Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologism, Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri.
Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.
2.        Epistemologis:
Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know, and how do we know it?” (Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi “belief, understanding, reson, judgement, sensation, imagination, supposing, guesting, learning, and forgetting”.
            Epistemologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya, metodologinya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar bisa mendapat pengetahuan dan ilmu yang benar dalam hal komunikasi? Apa yang dimaksud dengan kebenaran? Apakah kriteria kebenaran dan logika kebenaran dalam konteks ilmu komunikasi?
Secara sederhana sebetulnya perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah sejak kemunculan Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu Komunikasi adalah sebuah ilmu atau bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses penetapan suatu bidang menjadi sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai ilmu tidak terlepas dari ilmu-ilmu social yang terlebih dahulu ada. pengaruh Sosiologi dan Psikologi sangat berkontribusi atas lahirnya ilmu ini. Bahkan nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland, Freud, sangat besar pengaruhnya atas perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan memang, Komunikasi ditelaah lebih jauh menjadi sebuah ilmu baru oada abad ke-19 di daratan Amerika yang sangat erat kaitannya dengan aspek aksiologis ilmu ini sendiri.
Contoh konkret epistemologis dalam Ilmu Komunikasi dapat dilihat dari proses perkembangan kajian keilmuan Komunikasi di Amerika (Lihat History of Communication, Griffin: 2002). Kajian Komunikasi yang dipelajari untuk kepentingan manusia pada masa peperangan semakin meneguhkan Komunikasi menjadi sebuah ilmu.
3.        Aksiologis:
Hakikat individual ilmu pengetahuan yang bersitaf etik terkait aspek kebermanfaat ilmu itu sendiri. Seperti yang telah disinggung pada aspek epistemologis bahwa aspek aksiologis sangat terkait dengan tujuan pragmatic filosofis yaitu azas kebermanfaatan dengan tujuan kepentingan manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu Komunikasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia akan komunikasi.
            Aksiologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan pengetahuan dan ilmu tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimanakah kaitan ilmu komunikasi berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara operasionalisasi metode ilmiah dalam upaya melahirkan dan menemukan teori-teori dan aplikasi ilmu komunikasi dengan norma-norma moral dan profesional?
Kebutuhan memengaruhi (persuasive), retoris (public speaking), spreading of information, propaganda, adalah sebagian kecil dari manfaat Ilmu Komunikasi. Secara pragmatis, aspek aksiologis dari Ilmu Komunikasi terjawab seiring perkembangan kebutuhan manusia.
            Filsafat bermula dari pertanyaan dan berakhir pada pertanyaan. Hakikat filsafat adalah bertanya terus-menerus, karenanya dikatakan bahwa filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri. Dengan bertanya, filsafat mencari kebenaran. Namun, filsafat tidak menerima kebenaran apapun sebagai sesuatu yang sudah selesai. Yang muncul adalah sikap kritis, meragukan terus kebenaran yang ditemukan. Dengan bertanya, orang menghadapi realitas kehidupan sebagai suatu masalah, sebagai sebuah pertanyaan, tugas untuk digeluti, dicari tahu jawabannya.
            Tidak sebagaimana dengan ilmu-ilmu alam yang objeknya eksak, misalnya dalam biologi akan mudah untuk membedakan kucing dengan anjing, mana jantung dan mana hati, sehingga tidak memerlukan pendefinisian secara ketat. Tidak demikian halnya dengan  ilmu-ilmu sosial yang objeknya abstrak. Ilmu komunikasi berada dalam rumpun ilmu-ilmu sosial yang berobjek abstrak, yaitu tindakan manusia dalam konteks sosial. Komunikasi sebagai kata yang abstrak sulit untuk didefinisikan. Para pakar telah membuat banyak upaya untuk mendefinisikan komunikasi. Ilmu komunikasi sebagai salah satu ilmu sosial mutlak memberikan definisi tajam dan jernih guna menjelaskan objeknya yang abstrak itu.
            Tidak semua peristiwa merupakan objek kajian ilmu komunikasi. Sebagaimana diutarakan, objek suatu ilmu harus terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya. Karena objeknya yang abstrak, syarat objek ilmu komunikasinya adalah memiliki objek yang sama, yaitu tindakan manusia dalam konteks sosial. Artinya, peristiwa yang terjadi antarmanusia. Contoh, Anda berkata kepada seorang teman, ”Wah, maaf, kemarin saya lupa menelepon.” Peristiwa ini memenuhi syarat objek ilmu komunikasi , yaitu bahwa yang dikaji adalah komunikasi antarmanusia, bukan dengan yang lain selain makhluk manusia.
            Telah diketahui ilmu komunikasi memiliki sejumlah ilmu praktika, yaitu Hubungan Masyarakat, Periklanan, dan Jurnalistik. Misalnya, jika ilmu komunikasi juga mempelajari penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia, bagaimanakah agar pesan kehumasan yang ditujukan kepada bebatuan serta tumbuhan yang tercemar limbah perusahaan sehingga memberi respon positif mereka? Dengan kata lain, penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia akan mencederai kriteria objek keilmuannya.
            Terdapat beraneka ragam definisi komunikasi, hingga pada tahun 1976 saja Dance dan Larson berhasil mengumpulkan 126 definisi komunikasi yang berlainan. Mereka mengidentifikasi tiga dimensi konseptual penting yang mendasari perbedaan dari ke-126 definisi temuannya, yaitu:
1.      Tingkat observasi atau derajat keabstrakannya
            Yang bersifat umum, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya dalam kehidupan. Yang bersifat terlalu khusus, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah alat untuk mengirimkan pesan militer, perintah, dan sebagainya melalui telepon, telegraf, radio, kurir, dan sebagainya.
2.      Tingkat kesengajaan
            Yang mensyaratkan kesengajaan, misalnya definisi yang menyatakan komunikasi adalah situasi-situasi yang memungkinkan suatu sumber mentransmisikan suatu pesan kepada seorang penerima dengan disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. Sementara definisi yang mengabaikan kesengajaan, misalnya dari Gode yang menyatakan komunikasi sebagai proses yang membuat sesuatu dari yang semula dimiliki oleh seseorang atau monopoli seseorang menjadi dimiliki oleh dua orang atau lebih.
3.      Tingkat keberhasilan dan diterimanya pesan
            Yang menekankan keberhasilan dan diterimanya pesan, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran informasi untuk mendapatkan saling pengertian. Sedangkan yang tidak menekankan keberhasilan, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses transmisi informasi.
            Dengan beragamnya definisi komunikasi, sementara definisi itu diperlukan untuk menggambarkan objek ilmu komunikasi secara jelas dan jernih, maka pada tahun 1990-an para teoritisi komunikasi berdebat dan mempertanyakan apakah komunikasi harus disengaja? dan Apakah komunikasi harus diterima (received)? Setelah beradu argumentasi, para ahli sepakat untuk tidak sepakat dan menyatakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat tiga perspektif (sudut pandang) / paradigma yang dapat diakomodir.
            Paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhi dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Karenanya, paradigma sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya. Berikut ini adalah uraian atas ketiga paradigma sebagai hasil ”kesepakatan untuk tidak sepakat” dari para teoritisi komunikasi:
1.        Paradigma-1
            Komunikasi harus terbatas pada pesan yang sengaja diarahkan seseorang dan diterima oleh orang lainnya. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja, dan pesan itu harus diterima. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus terdapat komunikator pengirim, pesan itu sendiri, dan komunikan penerima. Implikasinya, jika pesan tidak diterima, tidak ada komunikan, karena tidak ada manusia yang menerima pesan. Jadi tidak ada komunikasi dan proses komunikasi yang merupakan kajian paradigma ini. Misalnya, ketika seorang teman melambai pada kita tapi kita tidak melihat, ini bukan komunikasi yang menjadi kajiannya, karena kita selaku komunikan tidak menerima pesan itu.
2.   Paradigma-2
            Komunikasi harus mencakup semua perilaku yang bermakna bagi penerima, apakah disengaja atau tidak. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan tidak harus disampaikan dengan sengaja, tapi harus diterima. Paradigma ini relatif mengenal istilah komunikan penerima. Biasanya dalam penggambaran model, pada dua titik pelaku komunikasi dinamai sebagai komunikator mengingat keduanya mempunyai peluang untuk menyampaikan pesan, baik disengaja maupun tidak, yang dimaknai oleh pihak lainnya. Atau, keduanya disebut sebagai komunikan yang dimaknai sebagai semua manusia pelaku komunikasi. Intinya, selama ada pemaknaan pesan pada salah satu pihak, adalah komunikasi yang menjadi kajiannya. Maka ketika kita dengan tidak sengaja melenggang di tepi jalan dan supir taksi berhenti serta bertanya, ”Taksi, pak?” ini adalah komunikasi yang menjadi kajiannya karena supir itu telah memaknai lenggangan kita yang tidak sengaja sebagai panggilan terhadapnya, tanpa terlalu mempersoalkan siapa pengirim dan penerima.
3.   Paradigma-3
            Komunikasi harus mencakup pesan-pesan yang disampaikan dengan sengaja, namun derajat kesengajaan sulit untuk ditentukan. Paradigma ini menyataan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja, tapi tidak mempersoalkan apakah pesan diterima atau tidak. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus terdapat komunikator pengirim, pesan, dan target komunikan penerima. Ketika seorang teman melambaikan tangan tapi kita tidak melihat, ini merupakan komunikasi yang menjadi kajiannya. Pertanyaannya adalah mengapa pesan itu tidak kita terima? Gangguan apa yang sedang terjadi, apakah pada salurannya? Atau pada alat penerima (mata kita)? Atau ada hal lainnya?
Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini. Menemukan hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa kita kepada pemahaman & pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Tiga bidang kajian filsafat ilmu adalah epistemologis, ontologis, dan oksiologis. Ketiga bidang filsafat ini merupakan pilar utama bangunan filsafat.
Epistemologi: merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan yang diperoleh  dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Medode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang & mapan, sistematis & logis.
Ontologi: adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan dengan sifat interaksi sosial. Menurut  Stephen Litle John, ontologi adalah mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan.
Aksiologis: adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai seperti etika, estetika, atau agama. Litle John menyebutkan bahwa aksiologis, merupakan bidang kajian filosofis yang membahas value (nilai-nilai) Litle John mengistilahkan kajian menelusuri tiga asumsi dasar teori ini adalah dengan nama metatori. Metatori adalah bahan spesifik pelbagai teori seperti tentang apa yang diobservasi, bagaimana observasi dilakukan dan apa bentuk teorinya. ”Metatori adalah teori tentang teori” pelbagai kajian metatori yang berkembang sejak 1970 –an mengajukan berbagai metode dan teori, berdasarkan perkembangan paradigma sosial. Membahas hal-hal seperti bagaimana sebuah knowledge itu (epistemologi) berkembang. Sampai sejauh manakah eksistensinya (ontologi) perkembangannya dan bagaimanakah kegunaan nilai-nilainya (aksiologis) bagi kehidupan sosial. Pembahasan ; Berita infotainment dalam kajian filosofis. Kajian ini akan meneropong lingkup persoalan di dalam disiplin jurnalisme, sebagai sebuah bahasan dari keilmuan komunikasi, yang telah mengalami degradasi bias tertentu dari sisi epistemologis, ontologis bahkan aksiologisnya terutama dalam penyajian berita infotainment di televisi.
Dalam hal informasi, filsafat membantu memberikan pengetahuannya sebagai berikut:
1.  Kajian Aspek Epistemologis:
Dalam berita hal terpenting adalah fakta. Pada titik yang paling inti dalam setiap pesannya pelaporan jurnalisme mesti membawa muatan fakta. Setiap kepingan informasi mengimplikasikan realitas peristiwa kemasyatakatan. Tiap pesan menjadi netral dari kemungkinan buruk penafsiran subyektif yang tak berkaitan dengan kepentingan–kepentingan kebutuhan masyarakat. Charnley (1965 : 22.30) mengungkapkan kunci standardisasi bahasa penulisan yang memakai pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi peristiwa, yaitu akurat, seimbang, obyektif, jelas dan singkat serta mengandung waktu kekinian. Hal-hal ini merupakan tolok ukur dari ”The Quality of News” dan menjadi pedoman yang mengondisikan kerja wartawan di dalam mendekati peristiwa berita & membantu upaya tatkala mengumpulkan & mereportase berita. Secara epistemologis cara-cara memperoleh fakta ilmiah yang menjadi landasan filosofis sebuah berita infotainment yang akan ditampilkan berdasarkan perencanaan yang matang, mapan, sistematis & logis.

2.  Kajian Aspek Ontologis
Dalam kajian berita infotainment ini bahasan secara ontologis tertuju pada keberadaan berita infotainment dalam ruang publik. Fenomena tentang berita infotainment bukan gejala baru di dunia jurnalisme. Pada abad 19, pernah berkembang jurnalisme yang berusaha mendapatkan audiensnya dengan mengandalkan berita kriminalitas yang sensasional, skandal seks, hal-hal, yang menegangkan dan pemujaan kaum selebritis ditandai dengan reputasi James Callender lewat pembeberan petualangan seks, para pendiri Amerika Serikat, Alexande Hamilton & Thomas Jeferson merupakan karya elaborasi antara fakta dan desus-desus. Tahun itu pula merupakan masa kejayaan William Rudolf Hearst dan Joseph Pulitzer yang dianggap sebagai dewa-dewa ”Jurnalisme kuning.”
Fenomena jurnalisme infotainment kembali mencuat ketika terjadi berita hebohnya perselingkuhan Presiden Amerika ”Bill Clinton- Lewinsky”. Sejak saat itu seakan telah menjadi karakteristik pada banyak jaringan TV di dunia. Di Indonesia, fenomena ini juga bukan terbilang baru. Sejak zaman  Harmoko (Menteri Penerangan pada saat itu) banyak surat kabar–surat kabar kuning muncul & diwarnai dengan antusias masyarakat. Bahkan ketika Arswendo Atmowiloto menerbitkan Monitor semakin membuat semarak ”Jurnalisme kuning di Indonesia”. Pasca Orde Baru ketika kebebasan pers dibuka lebar-lebar semakin banyak media baru bermunculan, ada yang memiliki kualitas tetapi ada juga yang mengabaikan kualitas dengan mengandalkan sensasional, gosip, skandal dan lain-lain. Ketika tayangan Cek & Ricek dan Kabar Kabari berhasil di RCTI, TV lainnya juga ikut-ikut menayangkan acara gosip. Dari sinilah cikal bakal infotainment marak di TV kita. Fenomena infotainment merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan dari dunia jurnalisme kita. Pada realitasnya ini banyak disukai oleh masyarakat dengan bukti rating tinggi (public share tinggi)
3.  Kajian pada aspek aksiologis
Secara aksiologis kegunaan berita infotainment dititik beratkan kepada hiburan. Pengelola acara ini menarik audiens hanya dengan menyajikan tontonan yang enak dilihat sebagai sebuah strategi bisnis jurnalisme. Hal ini akan berdampak pada menundanya selera dan harapan sejumlah orang terhadap sesuatu yang lain. Ketika etika infotainment telah salah langkah mencoba untuk ”menyaingkan” antara berita & hiburan. Padahal nilai dan daya pikat berita itu berbeda, infotainment pada gilirannya akan membentuk audiens yang dangkal karena terbangun atas bentuk bukan substansi.
Pengelola media melalui berita infotainment terkadang tidak lagi mempertimbangkan moral sebagai pengontrol langkah mereka sehingga begitu mengabaikan kepentingan masyarakat.Hal itulah yang terjadi dengan berita infotainment di Indonesia, beberapa kaidah yang semestinya dijalankan malah diabaikan demi kepentingan mengejar rating dan meraup keuntungan dari pemasang iklan.
 ** Disadur dari berbagai sumber


C.     KESIMPULAN
Filsafat komunikasi adalah studi secara mendalam tentang pernyataan manusia yang disampaikan kepada manusia lain yang tanpa disadari   mengacu pada aspek – aspek tertentu.








































DAFTAR PUSTAKA

Effendy, Onong Uchyana. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Bandung. Remaja Rosdakarya. 1994
EL Karimah, Kismiyati. 2010. Filsafat & etika Komunikasi. Bandung. Widya padjajaran.
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung. Remaja Rosdakarya..2001.
Effendy., Onong Uchjana, 2000, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi,  Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Davis, Anthony. 1993. Communication Is Soul Of Human. London. Wordpress.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar