KAJIAN FILSAFAT
KOMUNIKASI
A. Pengertian Filsafat Komunikasi
Menurut Onong Ucahana
Efendy, Suatu disiplin ilmu yang
menelaah pemahaman (verstehen) secara fundamental, metodologis,
sistematis, analitis,kritis, dan holistik tentang teori dan proses komunikasi
yang meliputi segala dimensinya.
Menurut
Richard Lanigan, Filsafat komunikasi
adalah upaya menjawab pertanyaan:Apa yang aku ketahui
Bagaimana aku
mengetahuinya ,
Apakah aku
yakin,
Apakah aku
benar.
B.
Kajian Filsafat Komunikasi
Para ahli sepakat bahwa landasan ilmu komunikasi yang pertama adalah
filsafat. Filsafat melandasi ilmu komunikasi dari domain ethos, pathos, dan
logos dari teori Aristoteles dan Plato. Ethos merupakan komponenfilsafat yang
mengajarkan ilmuwan tentang pentingnya rambu-rambu normative dalam pengembangan
ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi kunci utama bagi hubungan antara ilmu
dan masyarakat. Pathos merupakan komponen filsafat yang menyangkut aspek emosi
atau rasa yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang senantiasa mencintai
keindahan, penghargaan, yang dengan ini manusia berpeluang untuk melakukan
improvisasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Logos merupakan komponen
filsafat yang membimbing para ilmuwan untuk mengambil suatu keputusan
berdasarkan pada pemikiran yang bersifat nalar dan rasional, yang dicirikan
oleh argument-argumen yang logis.
Komponen yang lain dari filsafat adalah komponen piker, yang terdiri dari etika, logika, dan estetika, Komponen ini bersinegri dengan aspek kajian ontologi (keapaan), epistemologi (kebagaimanaan), dan aksiologi (kegunaan atau kemanfaatan).
Komponen yang lain dari filsafat adalah komponen piker, yang terdiri dari etika, logika, dan estetika, Komponen ini bersinegri dengan aspek kajian ontologi (keapaan), epistemologi (kebagaimanaan), dan aksiologi (kegunaan atau kemanfaatan).
Pada dasarnya filsafat komunikasi memberikan pengetahuan tentang kedudukan
Ilmu Komunikasi dari perspektif epistemology:
1.
Ontologis:
Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri
esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling
abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat jenis ilmu
pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
Ontologi.
Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Apakah ilmu komunikasi?
Apakah yang ditelaah oleh ilmu komunikasi? Apakah objek kajiannya? Bagaimanakah
hakikat komunikasi yang menjadi objek kajiannya?
Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara
ontologism, Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang
monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai
sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat
Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya
menentukan ruang lingkup studi itu sendiri.
Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu
Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi,
Komunikasi Manusia, dll.
2.
Epistemologis:
Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan
mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge.
Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa
yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know, and
how do we know it?” (Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi
“belief, understanding, reson, judgement, sensation, imagination, supposing, guesting,
learning, and forgetting”.
Epistemologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain:
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu?
Bagaimanakah prosedurnya, metodologinya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan
agar bisa mendapat pengetahuan dan ilmu yang benar dalam hal komunikasi? Apa
yang dimaksud dengan kebenaran? Apakah kriteria kebenaran dan logika kebenaran
dalam konteks ilmu komunikasi?
Secara sederhana sebetulnya perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi
sudah sejak kemunculan Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu
Komunikasi adalah sebuah ilmu atau bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana
proses penetapan suatu bidang menjadi sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka
Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai ilmu tidak terlepas dari ilmu-ilmu social
yang terlebih dahulu ada. pengaruh Sosiologi dan Psikologi sangat berkontribusi
atas lahirnya ilmu ini. Bahkan nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland,
Freud, sangat besar pengaruhnya atas perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan
memang, Komunikasi ditelaah lebih jauh menjadi sebuah ilmu baru oada abad ke-19
di daratan Amerika yang sangat erat kaitannya dengan aspek aksiologis ilmu ini
sendiri.
Contoh konkret epistemologis dalam Ilmu Komunikasi dapat dilihat dari
proses perkembangan kajian keilmuan Komunikasi di Amerika (Lihat History of
Communication, Griffin: 2002). Kajian Komunikasi yang dipelajari untuk
kepentingan manusia pada masa peperangan semakin meneguhkan Komunikasi menjadi
sebuah ilmu.
3.
Aksiologis:
Hakikat individual ilmu pengetahuan yang bersitaf etik terkait aspek
kebermanfaat ilmu itu sendiri. Seperti yang telah disinggung pada aspek
epistemologis bahwa aspek aksiologis sangat terkait dengan tujuan pragmatic
filosofis yaitu azas kebermanfaatan dengan tujuan kepentingan manusia itu
sendiri. Perkembangan ilmu Komunikasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia
akan komunikasi.
Aksiologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain:
Untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan pengetahuan dan ilmu tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimanakah kaitan ilmu komunikasi berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara operasionalisasi metode ilmiah dalam upaya melahirkan
dan menemukan teori-teori dan aplikasi ilmu komunikasi dengan norma-norma moral
dan profesional?
Kebutuhan memengaruhi (persuasive), retoris (public speaking), spreading of
information, propaganda, adalah sebagian kecil dari manfaat Ilmu Komunikasi.
Secara pragmatis, aspek aksiologis dari Ilmu Komunikasi terjawab seiring
perkembangan kebutuhan manusia.
Filsafat bermula dari pertanyaan dan berakhir pada
pertanyaan. Hakikat filsafat adalah bertanya terus-menerus, karenanya dikatakan
bahwa filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri. Dengan bertanya, filsafat
mencari kebenaran. Namun, filsafat tidak menerima kebenaran apapun sebagai
sesuatu yang sudah selesai. Yang muncul adalah sikap kritis, meragukan terus
kebenaran yang ditemukan. Dengan bertanya, orang menghadapi realitas kehidupan
sebagai suatu masalah, sebagai sebuah pertanyaan, tugas untuk digeluti, dicari
tahu jawabannya.
Tidak sebagaimana dengan ilmu-ilmu alam yang objeknya
eksak, misalnya dalam biologi akan mudah untuk membedakan kucing dengan anjing,
mana jantung dan mana hati, sehingga tidak memerlukan pendefinisian secara
ketat. Tidak demikian halnya dengan
ilmu-ilmu sosial yang objeknya abstrak. Ilmu komunikasi berada dalam
rumpun ilmu-ilmu sosial yang berobjek abstrak, yaitu tindakan manusia dalam
konteks sosial. Komunikasi sebagai kata yang abstrak sulit untuk didefinisikan.
Para pakar telah membuat banyak upaya untuk mendefinisikan komunikasi. Ilmu
komunikasi sebagai salah satu ilmu sosial mutlak memberikan definisi tajam dan
jernih guna menjelaskan objeknya yang abstrak itu.
Tidak semua peristiwa merupakan objek kajian ilmu
komunikasi. Sebagaimana diutarakan, objek suatu ilmu harus terdiri dari satu
golongan masalah yang sama sifat hakikatnya. Karena objeknya yang abstrak,
syarat objek ilmu komunikasinya adalah memiliki objek yang sama, yaitu tindakan
manusia dalam konteks sosial. Artinya, peristiwa
yang terjadi antarmanusia. Contoh, Anda berkata kepada seorang teman, ”Wah,
maaf, kemarin saya lupa menelepon.” Peristiwa ini memenuhi syarat objek ilmu
komunikasi , yaitu bahwa yang dikaji adalah komunikasi antarmanusia, bukan
dengan yang lain selain makhluk manusia.
Telah diketahui ilmu komunikasi memiliki sejumlah ilmu
praktika, yaitu Hubungan Masyarakat, Periklanan, dan Jurnalistik. Misalnya,
jika ilmu komunikasi juga mempelajari penyampaian pesan kepada makhluk selain
manusia, bagaimanakah agar pesan kehumasan yang ditujukan kepada bebatuan serta
tumbuhan yang tercemar limbah perusahaan sehingga memberi respon positif
mereka? Dengan kata lain, penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia akan
mencederai kriteria objek keilmuannya.
Terdapat beraneka ragam definisi komunikasi, hingga pada
tahun 1976 saja Dance dan Larson berhasil mengumpulkan 126 definisi komunikasi
yang berlainan. Mereka mengidentifikasi tiga dimensi konseptual penting yang
mendasari perbedaan dari ke-126 definisi temuannya, yaitu:
1.
Tingkat observasi atau derajat keabstrakannya
Yang bersifat umum,
misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses yang
menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya dalam kehidupan. Yang bersifat
terlalu khusus, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah alat
untuk mengirimkan pesan militer, perintah, dan sebagainya melalui telepon,
telegraf, radio, kurir, dan sebagainya.
2.
Tingkat kesengajaan
Yang mensyaratkan kesengajaan, misalnya definisi yang
menyatakan komunikasi adalah situasi-situasi yang memungkinkan suatu sumber
mentransmisikan suatu pesan kepada seorang penerima dengan disadari untuk
mempengaruhi perilaku penerima. Sementara definisi yang mengabaikan
kesengajaan, misalnya dari Gode yang menyatakan komunikasi sebagai proses yang
membuat sesuatu dari yang semula dimiliki oleh seseorang atau monopoli
seseorang menjadi dimiliki oleh dua orang atau lebih.
3.
Tingkat keberhasilan dan diterimanya pesan
Yang menekankan
keberhasilan dan diterimanya pesan, misalnya definisi yang menyatakan bahwa
komunikasi adalah proses pertukaran informasi untuk mendapatkan saling
pengertian. Sedangkan yang tidak menekankan keberhasilan, misalnya definisi
yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses transmisi informasi.
Dengan beragamnya definisi komunikasi, sementara definisi
itu diperlukan untuk menggambarkan objek ilmu komunikasi secara jelas dan
jernih, maka pada tahun 1990-an para teoritisi komunikasi berdebat dan
mempertanyakan apakah komunikasi harus disengaja? dan Apakah komunikasi harus
diterima (received)? Setelah beradu
argumentasi, para ahli sepakat untuk tidak sepakat dan menyatakan bahwa
sekurang-kurangnya terdapat tiga perspektif (sudut pandang) / paradigma yang dapat diakomodir.
Paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan
lingkungannya yang akan mempengaruhi dalam berpikir (kognitif), bersikap
(afektif), dan bertingkah laku (konatif). Karenanya, paradigma sangat menentukan
bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya. Berikut
ini adalah uraian atas ketiga paradigma sebagai hasil ”kesepakatan untuk tidak
sepakat” dari para teoritisi komunikasi:
1.
Paradigma-1
Komunikasi harus
terbatas pada pesan yang sengaja diarahkan seseorang dan diterima oleh orang
lainnya. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja,
dan pesan itu harus diterima. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi,
syaratnya harus terdapat komunikator
pengirim, pesan itu sendiri, dan komunikan penerima. Implikasinya, jika
pesan tidak diterima, tidak ada komunikan, karena tidak ada manusia yang
menerima pesan. Jadi tidak ada komunikasi dan proses komunikasi yang merupakan
kajian paradigma ini. Misalnya, ketika seorang teman melambai pada kita tapi
kita tidak melihat, ini bukan komunikasi yang menjadi kajiannya, karena kita
selaku komunikan tidak menerima pesan itu.
2. Paradigma-2
Komunikasi harus
mencakup semua perilaku yang bermakna bagi penerima, apakah disengaja atau
tidak. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan tidak harus disampaikan dengan
sengaja, tapi harus diterima. Paradigma ini relatif mengenal istilah komunikan
penerima. Biasanya dalam penggambaran model, pada dua titik pelaku komunikasi
dinamai sebagai komunikator mengingat keduanya mempunyai peluang untuk
menyampaikan pesan, baik disengaja maupun tidak, yang dimaknai oleh pihak
lainnya. Atau, keduanya disebut sebagai komunikan yang dimaknai sebagai semua
manusia pelaku komunikasi. Intinya, selama ada pemaknaan pesan pada salah satu
pihak, adalah komunikasi yang menjadi kajiannya. Maka ketika kita dengan tidak
sengaja melenggang di tepi jalan dan supir taksi berhenti serta bertanya,
”Taksi, pak?” ini adalah komunikasi yang menjadi kajiannya karena supir itu
telah memaknai lenggangan kita yang tidak sengaja sebagai panggilan
terhadapnya, tanpa terlalu mempersoalkan siapa pengirim dan penerima.
3. Paradigma-3
Komunikasi harus
mencakup pesan-pesan yang disampaikan dengan sengaja, namun derajat kesengajaan
sulit untuk ditentukan. Paradigma ini menyataan bahwa pesan harus disampaikan
dengan sengaja, tapi tidak mempersoalkan apakah pesan diterima atau tidak.
Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus terdapat komunikator pengirim, pesan, dan target
komunikan penerima. Ketika seorang teman melambaikan tangan tapi kita tidak
melihat, ini merupakan komunikasi yang menjadi kajiannya. Pertanyaannya adalah
mengapa pesan itu tidak kita terima? Gangguan apa yang sedang terjadi, apakah
pada salurannya? Atau pada alat penerima (mata kita)? Atau ada hal lainnya?
Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia
sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini. Menemukan
hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang
sistematik. Filsafat membawa kita kepada pemahaman & pemahaman membawa kita
kepada tindakan yang lebih layak. Tiga bidang kajian filsafat ilmu adalah epistemologis, ontologis, dan oksiologis. Ketiga bidang filsafat ini
merupakan pilar utama bangunan filsafat.
Epistemologi: merupakan
cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan
manusia yang bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan
kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya
adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan yang diperoleh dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah.
Medode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang
& mapan, sistematis & logis.
Ontologi: adalah cabang
filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang
ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan dengan sifat interaksi sosial.
Menurut Stephen Litle John, ontologi adalah mengerjakan terjadinya
pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki keluasan eksistensi
kemanusiaan.
Aksiologis: adalah cabang
filsafat yang berkaitan dengan nilai seperti etika, estetika, atau agama. Litle John menyebutkan bahwa aksiologis,
merupakan bidang kajian filosofis yang membahas value (nilai-nilai) Litle
John mengistilahkan kajian menelusuri tiga asumsi dasar teori ini adalah
dengan nama metatori. Metatori adalah bahan spesifik pelbagai teori seperti
tentang apa yang diobservasi, bagaimana observasi dilakukan dan apa bentuk
teorinya. ”Metatori adalah teori tentang teori” pelbagai kajian metatori yang
berkembang sejak 1970 –an mengajukan berbagai metode dan teori, berdasarkan
perkembangan paradigma sosial. Membahas hal-hal seperti bagaimana sebuah knowledge itu (epistemologi) berkembang. Sampai sejauh manakah eksistensinya (ontologi) perkembangannya dan
bagaimanakah kegunaan nilai-nilainya (aksiologis) bagi kehidupan sosial.
Pembahasan ; Berita infotainment dalam
kajian filosofis. Kajian ini akan meneropong lingkup persoalan di dalam
disiplin jurnalisme, sebagai sebuah bahasan dari keilmuan komunikasi, yang
telah mengalami degradasi bias tertentu dari sisi epistemologis, ontologis bahkan aksiologisnya terutama dalam
penyajian berita infotainment di
televisi.
Dalam
hal informasi, filsafat membantu memberikan pengetahuannya sebagai berikut:
1. Kajian Aspek Epistemologis:
Dalam berita hal terpenting
adalah fakta. Pada titik yang paling inti dalam setiap
pesannya pelaporan jurnalisme mesti membawa muatan fakta.
Setiap kepingan informasi mengimplikasikan realitas peristiwa kemasyatakatan.
Tiap pesan menjadi netral dari kemungkinan buruk penafsiran subyektif yang tak
berkaitan dengan kepentingan–kepentingan kebutuhan masyarakat. Charnley (1965 :
22.30) mengungkapkan kunci standardisasi bahasa penulisan yang memakai
pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi peristiwa, yaitu akurat, seimbang,
obyektif, jelas dan singkat serta mengandung waktu kekinian.
Hal-hal ini merupakan tolok ukur dari ”The
Quality of News” dan menjadi pedoman yang mengondisikan kerja wartawan di
dalam mendekati peristiwa berita & membantu upaya tatkala mengumpulkan
& mereportase berita. Secara
epistemologis cara-cara memperoleh
fakta ilmiah yang menjadi landasan filosofis
sebuah berita infotainment yang akan
ditampilkan berdasarkan perencanaan yang matang, mapan, sistematis & logis.
2. Kajian Aspek Ontologis
Dalam kajian berita infotainment ini bahasan secara ontologis tertuju pada keberadaan berita
infotainment dalam ruang publik.
Fenomena tentang berita infotainment bukan
gejala baru di dunia jurnalisme. Pada abad 19, pernah berkembang jurnalisme
yang berusaha mendapatkan audiensnya
dengan mengandalkan berita kriminalitas yang sensasional, skandal seks,
hal-hal, yang menegangkan dan pemujaan kaum selebritis ditandai dengan reputasi
James Callender lewat pembeberan petualangan seks, para pendiri Amerika
Serikat, Alexande Hamilton & Thomas Jeferson merupakan karya elaborasi
antara fakta dan desus-desus. Tahun itu pula merupakan masa kejayaan William
Rudolf Hearst dan Joseph Pulitzer yang dianggap sebagai dewa-dewa ”Jurnalisme
kuning.”
Fenomena jurnalisme infotainment
kembali mencuat ketika terjadi berita hebohnya perselingkuhan Presiden Amerika
”Bill Clinton- Lewinsky”. Sejak saat itu seakan telah menjadi karakteristik
pada banyak jaringan TV di dunia. Di Indonesia, fenomena ini juga bukan
terbilang baru. Sejak zaman Harmoko
(Menteri Penerangan pada saat itu) banyak surat kabar–surat kabar kuning muncul
& diwarnai dengan antusias masyarakat. Bahkan ketika Arswendo Atmowiloto
menerbitkan Monitor semakin membuat semarak ”Jurnalisme kuning di Indonesia”.
Pasca Orde Baru ketika kebebasan pers dibuka lebar-lebar semakin banyak media
baru bermunculan, ada yang memiliki kualitas tetapi ada juga yang mengabaikan
kualitas dengan mengandalkan sensasional, gosip, skandal dan lain-lain. Ketika
tayangan Cek & Ricek dan Kabar Kabari berhasil di RCTI, TV lainnya juga
ikut-ikut menayangkan acara gosip. Dari sinilah cikal bakal infotainment marak di TV kita. Fenomena infotainment merupakan hal yang tidak
bisa terhindarkan dari dunia jurnalisme kita. Pada realitasnya ini banyak
disukai oleh masyarakat dengan bukti rating tinggi (public share tinggi)
3. Kajian pada
aspek aksiologis
Secara aksiologis kegunaan
berita infotainment dititik beratkan
kepada hiburan. Pengelola acara ini menarik audiens hanya dengan menyajikan
tontonan yang enak dilihat sebagai sebuah strategi bisnis jurnalisme. Hal ini
akan berdampak pada menundanya selera dan harapan sejumlah orang terhadap
sesuatu yang lain. Ketika etika infotainment
telah salah langkah mencoba untuk ”menyaingkan” antara berita & hiburan.
Padahal nilai dan daya pikat berita itu berbeda, infotainment pada gilirannya akan membentuk audiens yang dangkal karena terbangun atas bentuk bukan substansi.
Pengelola media melalui berita infotainment terkadang tidak lagi
mempertimbangkan moral sebagai pengontrol langkah mereka sehingga begitu
mengabaikan kepentingan masyarakat.Hal itulah yang terjadi dengan berita infotainment di Indonesia, beberapa
kaidah yang semestinya dijalankan malah diabaikan demi kepentingan mengejar
rating dan meraup keuntungan dari pemasang iklan.
** Disadur dari berbagai sumber
C. KESIMPULAN
Filsafat komunikasi adalah studi secara
mendalam tentang pernyataan manusia yang disampaikan kepada manusia lain yang
tanpa disadari mengacu pada aspek –
aspek tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Effendy, Onong Uchyana. Ilmu Komunikasi,
Teori dan Praktek. Bandung. Remaja Rosdakarya. 1994
EL Karimah, Kismiyati. 2010. Filsafat & etika Komunikasi. Bandung. Widya padjajaran.
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi: Suatu
Pengantar. Bandung. Remaja Rosdakarya..2001.
Effendy., Onong Uchjana, 2000, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Davis,
Anthony. 1993. Communication Is Soul Of Human. London. Wordpress.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar